Jalanan tidak halus dan lurus, banyak lubang disana-sini, bergelombang, dengan tikungan-tikungan tajam. Kanan-kiri deretan perbukitan gersang dengan jurang-jurang kecil tempat beberapa penggembala mengasuh ternaknya. Bus tua yang kami naiki kadang terengah-engah ketika menaiki beberapa tanjakan yang sebenarnya tidak terlalu tinggi meskipun sudah membuat pesiapan dan melaju kencang. Dahulu ada seorang kernet bus pernah bercerita kalau bus-bus yang beroperasi di daerah ini rata-rata mesinnya sudah renta dan mengalami berkali-kali perilaku kanibal. Keterbatasan suku cadang dan kalaupun ada yang orisinil tentu harganya juga selangit, sering kali tidak sebanding dengan penghasilan yang didapatkan. “Yang penting bisa jalan dan menghasilkan mas!” Kata Si Kernet dilanjut dengan umpatan pelan setelah busnya disalip bus lain dari perusahaan yang sama.
Sejenak jalanan gelap oleh kepulan asap hitam sisa pembakaran solar. Hari ini aku tidak sendirian, seorang perempuan menemani perjalananku. Wajahnya kusut sedikit pucat, sepertinya dia tidak biasa menempuh perjalanan seperti ini. Matanya menatap barisan bukit-bukit kecil dengan ceruk-ceruk jurang yang tidak dalam dan tidak terjal. Sebenarnya ceruk-ceruk itu tidak pantas untuk disebut sebagai jurang, tetapi aku juga tidak punya sebutan lain untuk menyebutannya dan tanpa ada maksud untuk ber-hiperbolik. Kalau disebut jugangan (bahasa jawa untuk lubang galian tempat sampah) aku rasa juga kurang tepat karena ceruk-ceruk itu bukan tempat pembuangan sampah. Bagiku yang penting adalah bisa sama-sama paham dengan apa yang dimaksudkan itu sudah cukup, mau disebut apapun juga tidak masalah.
Aku berusaha memancing pembicaraan, komunikasi kami belumlah lancar meskipun beberapa hari yang lalu sudah begitu intim. Tahun 2005 kami pernah beberapa kali berkomunikasi dengan e-mail, 2004 pernah berpapasan dan 2006 baru bisa lebih jelas melihatnya selama beberapa hari meskipun aku juga dalam kondisi mabuk. Hari pertama mabuk alkohol, hari kedua ganja, hari ketiga obat dan hari-hari berikutnya antara ketiganya itu. Tiada hari yang lebih indah tanpa mabuk, every day is birthday! Begitulah semangatnya.
“Kamu sakit?”
“Tidak.”
“Pusing?”
“Tidak.”
“Tapi wajahmu terlihat pucat?”
“Tidak apa-apa.”
Perbincangan terputus, aku tidak terlalu mahir berbasa-basi, hanya tangan kananku yang kemudian mendarat di kepalanya. Sembari mengusap rambutnya yang kusut aku lepaskan nafas dalam. Bus terus melaju menyusuri jalanan meliuk. Hingga sampai pada jalan yang berdampingan dengan rel kereta api aku kembali membuka pembicaraan.
“Apa kamu pernah melakukan perjalanan seperti ini?”
Dia sedikit menoleh dan hanya mengangguk pelan.
“Kalau dalam suatu perjalanan, apa kamu pernah berjumpa dengan permasalahan seperti kemarin?”
“Beberapa kali.”
“Kira-kira seberat apa permasalahan yang pernah kamu jumpai?”
“Hampir sama seperti kemarin.”
“Terus apa yang kamu lakukan saat menghadapi permasalahan itu?”
“Ya kira-kira tidak jauh berbeda.”
“Hemm.... Maksudmu... Ehm.... melakukan kerja-kerja seperti kemarin?” Sedikit meragukan karena pertemuan kami belum lama dan aku tidak yakin dia sudah begitu dalam menyelami apa yang aku pikirkan dan aku kerjakan.
“Iya, sama.”
“Oh....”
Pembicaraan kembali terhenti dengan seutas senyum. Jalanan ini sudah berkali-kali aku lewati, rasa tidak pernah bosan melawatinya karena selalu saja ada yang baru dipandangan mata dan pikiran. Deretan bukit dan ceruk jurang-jurang itu selalu menghadirkan siluet-siluet baru setiap kali melewatinya. Kadang berbentuk manusia, kadang berbentuk hewan, kadang berbentuk tanaman yang beraneka warna dan jenisnya, tidak selalu indah dan bagus. Beragam.
Aku keluarkan air minum yang diambil langsung dari mata air di botol bekas air mineral dalam tas missionari ku. Biasanya mbak ayu (Kakak perempuan, Jawa) yang mengambilkan air minum bekal setiap kali aku akan melakukan perjalanan jauh, tetapi hari ini aku mengambilnya sendiri. Aku tahu meminum air tanpa dimasak dahulu tidaklah baik untuk kesehatan sebab kandungan kapurnya masih terlalu tinggi. Tetapi air ini lebih segar diminum tanpa dimasak dulu, aku juga tidak takut dengan ecoly (Bakteri diarhoe/diare) karena air disini belum tercemar seperti air-air di perkotaan dan sebagai pembelaannya aku selalu bilang, “Sesekali tidak apa-apa.”
“Mari minum!”
Dia mengangguk dan kusodorkan botol itu.
“Dalam suatu perjalanan bertemu permasalahan-permasalahan adalah hal biasa, ketika bertemu dengan permasalahan aku merasa seperti sedang berada dalam suatu pertempuran dimana aku harus berstrategi untuk memenangkan pertempuran itu, tetapi meskipun begitu aku juga tidak melupakan nilai-nilai benar dan salah. Disinilah aku ditantang untuk bertahan hidup dan ketika aku bisa menyelesaikan permasalahan itu dengan kegemilangan, aku merasakan kebahagiaan yang membuatku seperti melayang sesaat. Susah untuk melukiskan rasa itu.”
Dia memperhatikanku.
“Kamu pernah merasakan rasa itu?”
Dia menggelengkan kepala.
“Belum pernah sama sekali?”
“Iya.”
“Kamu ingin merasakan peristiwa itu?”
Dia mengangguk dan tersenyum. Inilah kali pertama aku melihatnya sejak kami naik dan duduk di dalam bus yang pengap ini. Matanya sebentar berbinar menyalakan emosi.
“Saat ini aku merasa yakin bisa menyelesaikan permasalahan dengan gemilang, aku sudah memikirkan langkah-langkah untuk mencapai itu semua.”
“Menurutku permasalahan yang ini cukup berat dan rumit. Dibutuhkan perhitungan yang cermat!”
“Aku paham dan tidak mau gegabah. Aku sadar dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Banyak juga yang meragukan kegemilangan itu, justru saat itulah aku harus tetap merasa yakin dan harus meyakinkan mereka. Tidak sedikit yang memintaku untuk berdamai, mengambil jalan tengah, bahkan ada juga yang memintaku mundur, tapi semuanya ku tolak. Kali ini aku harus keras kepala, aku sadar dengan apa yang ku lakukan.”
“Aku lihat permasalahan yang sedang dihadapi punya kekuatan besar dan bisa melakukan apapun?”
“Benar! Aku pun melihat hal yang sama dan karena itulah aku melihat kekuatannya itu sebagai kelemahan.”
“Maksudnya? Aku belum paham dan belum bisa membayangkan.”
“Agak susah untuk menjelaskannya, tapi nanti kalau kamu mau melihat dan memperhatikan, pelan-pelan kamu akan paham dengan sendirinya. Akan kuberikan kegemilangan itu untuk mu. Aku yakin.”
Pembicaraan terhenti dan kami kembali ke alam pikiran masing-masing. Kekalahan telak seorang propagandis adalah ketika dia sudah tidak mampu lagi mempropagandai dirinya sendiri. Itulah prinsip yang sering terlupakan dan sering menyebabkan terperosok masuk ke dalam lorong keputusasaan. Dahulu aku banyak melihat orang yang berjalan penuh dengan semangat dan gegap-gempita. Penuh keyakinan menatap ke depan. Tapi kini aku banyak melihat kebalikannya. Mereka yang dahulu begitu bersemangat dan menyemangati orang lain, saat ini untuk menyemangati dirinya sendiri saja sulit. Yang muncul kemudian adalah permakluman pelipur lara karena untuk bermimpipun mereka sudah tidak berani. Inilah masa dimana harapan sudah menghilang dan orang sudah tidak sanggup tertawa lagi.
“Aku bukan sedang bersaksi tidak juga berkhotbah seperti nabi. Kuceritakan yang ku lihat tidakkah kau rasakan itu, tidakkah kau rasakan itu? Apakah kau terlahir dari batu?” Selarik lirik lagunya Sawung Jabo dan Sirkus Barock menggerayangi ruang sepiku. Lirik dengan judul Sarat terangkum dalam album Kanvas Putih yang dirilis tahun 1993.
Sementara bus meliak-liuk mengikuti alur jalanan, kami masih duduk diam. Beberapa petak hutan jati milik Perhutani yang kami lewati menantang mimpi. Kembali lirik Sarat melintasi harapan, “Berikan seribu matahari pembakar mimpi. Curahkan air hujan pendingin bara terpendam. Nyanyikan lagu, ooo... Nyanyikan lagu, nyanyikan lagu ketenangan jiwa!”
“Wajahmu masih pucat, tampaknya kamu benar-benar sakit!”
“Tidak apa-apa.”
“Serius kamu benar baik-baik saja?”
Dia mengangguk.
Kembali tanganku menggapai kepalanya, kali ini tangan kiriku membimbing kepala itu rebah di bahu kananku, lalu ku cium ubun-ubunnya. Mataku terpejam, dalam batin aku berkata, “Semoga akan baik-baik saja!”
Tanpa terasa terminal bus sudah tampak di depan mata dan itu tandanya kami harus bersiap-siap turun berganti bus lain. Disebelah selatan luar terminal ada bangunan GOR (Gelanggang Olah Raga) yang biasanya digunakan untuk latihan Tai Chi, sebuah ilmu beladiri dari China yang kekuatan jurus-jurusnya terletak pada pemanfaatkan kekuatan tenaga lawan. Setiap kali melewatinya aku selalu menyempatkan melihat dari balik jendela bus. Pernah pada suatu ketika aku duduk-duduk disana minum ciu (Arak dari fermentasi tebu) dan rokokan sambil memperhatikan beberapa anak belasan tahun berlatih Tai Chi. Gerakan mereka begitu lentur tapi keras dan mematikan karena langsung mengarah pada titik-titik syaraf vital.
Waktu terus berjalan tanpa bisa dihentikan, hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Aku tetap mengingat perjalanan dan percakapan di dalam bus itu meskipun kami jarang bertemu dan tidak tahu kapan akan bertemu lagi atau bahkan malah mungkin tidak bisa bertemu lagi. Aku anggap ucapan ku pada waktu itu adalah janji dan janji haruslah ditepati. Saat ini kegemilangan sudah teraih dan waktunya untuk mempersembahkan semua kepada teman perjalanan ku itu, meskipun aku juga tidak tahu dimana dia berada sekarang. Aku selalu percaya bahwa kata-kata yang diucapkan dengan kesungguhan pasti akan sampai juga ke tujuan dan oleh sebab itulah aku juga yakin kalau saat ini dia juga bisa mendengarkan ini semua meski hanya lirih kukatakan atau bahkan hanya di dalam batin, tidak lupa pula teriring untaian terimakasih yang mendalam karena telah memberikan inspirasi dan mewarnai perjalananku. Perjalanan yang tidak selamanya lurus mulus, ada suka dan ada duka tidak selalu indah tetapi juga tidak selalu buruk. Ada kalanya harus berhenti dan ada kalanya juga harus diteruskan lagi.
Tugas ku saat ini adalah menjaga dan mempertahankan kegemilangan itu supaya kelak kehidupan akan menjadi lebih baik dan tidak bertemu lagi dengan permasalahan yang sama.
“Aku bukan bayi yang sedang menangis, yang akan terdiam oleh air susu.” Lirik Sarat melintas lagi.
Btijox: 24-09-2010 00:00:01
Terimakasih untuk:
Sawung Jabo & Sirkus Barock, Album: Kanvas Putih, 1993 (Sarat, Kanvas Putih, Perjalanan Awan). Untuk Si Robot juga meski sempat menggigit kaki ku hingga berdarah, semut-semut hitam, merah dan coklat yang mengerubungi kopi basiku, terus binatang yang aku tidak tahu namanya tapi yang jelas bikin gatal-gatal di tubuhku, nyamuk dan cicak kecil di bawah kardus pembuangan kertas bekas, kecoak yang kemudian mati dikeroyok semut hitam, laba-laba emas peloncat yang main-main di atas printer dan laba-laba kaki panjang yang menunggu di kabel modem, dan tentunya untuk semua saja yang tidak bisa disebutkan satu persatu, juga untuk semua yang tidak mampu terlihat oleh mataku *swear aku merasakannya*.
Turut menyemarakkan:
Selarik lirik lagu Sawung Jabo: (Satu Langkah sejuta cakrawala, akulah dalang diriku sendiri).
Kalian tim yang hebat, Bravo! Hip Hip Hura!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar